Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim adalah pahlawan nasional,
salah seorang anggota BPUPKI dan perumus Pancasila. Putera KH. M. Hasyim
Asy’ari, pendiri NU, ini lahir di Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914 dan wafat di
Cimahi, Jawa Barat, 19 April 1953 pada usia 38 tahun. Ayahanda Abdurrahman
Wahid ini menjabat Menteri Agama tiga kabinet (Kabinet Hatta, Kabinet Natsir
dan Kabinet Sukiman).
Mantan Ketua
Tanfidiyyah PBNU (1948) dan Pemimpin dan pengasuh kedua Pesantren Tebuireng
(1947 – 1950) ini, merupakan reformis dunia pendidikan pesantren dan pendidikan
Islam Indonesia. Ia dikenal juga sebagai pendiri IAIN (sekarang UIN).
Pada tahun
1939, ia ikut berperan pada saat NU menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A’la
Indonesia), sebuah badan federasi partai dan ormas Islam di zaman pendudukan
Belanda. Pada 24 Oktober 1943 ia terpilih menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin
Indonesia (Masyumi) sebuah organisasi menggantikan MIAI.
Saat
pemimpin Masyumi ia merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang aktif membantu
perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan. Tahun 1944, ia ikut mendirikan
Sekolah Tinggi Islam (UIN) di Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh KH. A.
Kahar Muzakkir. Tahun 1945 ia pun menjadi anggota BPUPKI dan PPKI.
Wahid Hasjim
meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil di Kota Cimahi tanggal 19 April
1953.
Menimba Ilmu
Wahid Hasjim
lahir dari buah kasih KH. M. Hasyim Asy’ari-Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas
(Madiun) pada pagi Jum’at legi, 5 Rabi’ul Awal 1333 H./1 Juni 1914 M.
Ayahandanya semula memberinya nama Muhammad Asy’ari, diambil dari nama
kakeknya. Namun, namanya kemudian diganti menjadi Abdul Wahid, diambil dari
nama datuknya. Dia anak kelima dan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara.
Masa
kecilnya diisi dengan pengasuhan di Madrasah Tebuireng hingga usi 12 tahun.
Sejak kecil sudah hobi membaca dan giat memelajari ilmu-ilmu kesustraan dan budaya
Arab secara outodidak. Dia hafal banyak syair Arab yang kemudian disusun
menjadi sebuah buku.
Pada usia 13
tahun, ia sempat mondok dan belajar di Pondok Siwalan, Panji, Sidoarjo, selama
25 hari, mulai awal Ramadhan hingga tanggal 25 Ramadhan. Kemudian pindah ke
Pesantren Lirboyo, Kediri, sebuah pesantren yang didirikan oleh KH. Abdul
Karim, teman dan sekaligus murid ayahnya.
Kemudian,
pada usia 15 tahun, ia kembali ke Tebuireng dan baru mengenal huruf latin.
Setelah mengenal huruf latin, semangat belajarnya semakin bertambah. Ia belajar
ilmu bumi, bahasa asing, matematika, dll. JUga rajin membaca koran dan majalah,
baik yang berbahasa Indonesia maupun Arab.
Ia pun mulai
belajar Bahasa Arab dan Belanda ketika berlangganan majalah tiga bahasa,
”Sumber Pengetahuan” Bandung. Setelah itu belajar Bahasa Inggris.
Ketika
umurnya baru 18 tahun, pada tahun 1932, Abdul Wahid pergi ke tanah suci Mekkah
bersama sepupunya, Muhammad Ilyas. Mereka berdua, selain menjalankan ibadah
haji, juga memperdalam ilmu pengetahuan seperti nahwu, shorof, fiqh, tafsir,
dan hadis. Ia menetap di tanah suci selama 2 tahun.
Terobosan
Kurikulum Pesantren
Sepulang
dari tanah suci, ia membantu ayahnya mengajar di pesantren. Juga giat terjun ke
tengah-tengah masyarakat. Pada usianya baru menginjak 20-an tahun, Kiai Wahid
sudah membantu ayahnya menyusun kurikulum pesantren, menulis surat balasan dari
para ulama atas nama ayahnya dalam Bahasa Arab, mewakili sang ayah dalam
berbagai pertemuan dengan para tokoh.
Beliau sudah
menggantikan membaca kitab Shahih Bukhari, yakni pengajian tahunan yang diikuti
oleh para ulama dari berbagai penjuru tanah Jawa dan Madura.
Dia pun
melakukan terobosan-terobosan besar di Tebuireng. Dia mengusulkan untuk merubah
sistem klasikal dengan sistem tutorial, serta memasukkan materi pelajaran umum
ke pesantren. Namun, usul ini ditolak oleh ayahnya, karena khawatir akan
menimbulkan masalah antar sesama pimpinan pesantren. Tetapi kemudian pada tahun
1935, usulannya tentang pendirian Madrasah Nidzamiyah, dimana 70 persen kurikulum
berisi materi pelajaran umum, diterima oleh sang ayah.
Pada tahun
1936, Kiai Wahid mendirikan Ikatan Pelajar Islam. Ia juga mendirikan taman
bacaan (Perpustakaan Tebuireng) yang menyediakan lebih dari seribu judul buku.
Perpustakaan ini juga berlangganan majalah seperti Panji Islam, Dewan Islam,
Berita Nahdlatul Ulama, Adil, Nurul Iman, Penyebar Semangat, Panji Pustaka,
Pujangga Baru, dan lain sebagainya. Ini merupakan terobosan pertama yang
dilakukan pesantren manapun di Indonesia.
Lalu, ia menikah dengan Munawaroh (lebih dikenal dengan nama Sholichah), putri
KH. Bisyri Sansuri (Denanyar Jombang) pada hari Jumat, 10 Syawal 1356 H./1936
M. Pada prosesi pernikahan ini, ia hanya berangkat seorang diri ke Denanyar
dengan hanya memakai baju lengan pendek dan bersarung. Bukan lantaran tidak ada
yang mau mengantar, akan tetapi ia sendiri yang meninggalkan para pengiringnya
di belakang.
Pernikahan
Wahid-Sholichah dikaruniai enam orang putra-putri, yaitu Abdurrahman, Aisyah,
Salahuddin, Umar, Lily Khodijah, dan Muhammad Hasyim. 081226444843
Sembilan
tahun kemudian, 1947, ayahnya KH. M. Hasyim Asy’ari meningal dunia. Kiai Wahid
pun terpilih secara aklamasi sebagai pengasuh Tebuireng menggantikan
ayahandanya. Pilihan ini berdasarkan kesepakatan musyawarah keluarga Bani
Hasyim dan Ulama NU Kabupaten Jombang.
Masuk NU dan Mendirikan Masyumi
Di tengah
kesibukannya mengelola Tebuireng, Kiai Wahid aktif menjadi pengurus NU. Dimulai
jadi Sekertaris NU Ranting Cukir, kemudian terpilih sebagai Ketua Cabang NU
Kabupaten Jombang, 1938 dan Pengurus PBNU bagian ma’arif (pendidikan), 1940. Ia
giat mengembangkan dan mereorganisasi madrasah-madrasah NU di seluruh
Indonesia. Ia menerbitkan Majalah Suluh Nahdlatul Ulama dan juga aktif menulis
di Suara NU dan Berita NU.
Kemudian
tahun 1946, Kiai Wahid terpilih sebagai Ketua Tanfidiyyah PBNU menggantikan
Kiai Achmad Shiddiq yang meninggal dunia.
Pada bulan
November 1947, Wahid Hasyim bersama M. Natsir menjadi pelopor pelaksanaan
Kongres Umat Islam Indonesia yang diselenggarakan di Jogjakarta. Dalam kongres
itu diputuskan pendirian Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebagai
satu-satunya partai politik Islam di Indonesia. Ketua umumnya adalah ayahnya
sendiri, Kiai Hasyim Asy’ari. Namun Kiai Hasyim melimpahkan semua tugasnya kepada
Wahid Hasyim.
Dalam
Masyumi tergabung tokoh-tokoh Islam nasional, seperti KH. Wahab Hasbullah, KH.
Bagus Hadikusumo, KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi, KH. Zainul Arifin,
Mohammad Roem, dr. Sukiman, H. Agus Salim, Prawoto Mangkusasmito, Anwar Cokroaminoto,
Mohammad Natsir, dan lain-lain.
Sejak awal tahun 1950-an, NU keluar dari Masyumi dan mendirikan partai sendiri.
Kiai Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Partai NU. Keputusan ini diambil dalam
Kongres ke-19 NU di Palembang (26-April-1 Mei 1952). Secara pribadi, Kiai Wahid
tidak setuju NU keluar dari Masyumi. Akan tetapi karena sudah menjadi keputusan
bersama, maka Kiai Wahid menghormatinya. Hubungan Kiai Wahid dengan tokoh-tokoh
Masyumi tetap terjalin baik.
Pahlawan
Nasional
Pada tahun
1939, NU masuk menjadi anggota Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), sebuah
federasi partai dan ormas Islam di Indonesia. Setelah masuknya NU, dilakukan
reorganisasi dan saat itulah Kiai Wahid terpilih menjadi ketua MIAI, dalam
Kongres tanggal 14-15 September 1940 di Surabaya.
Di bawah
kepemimpinan Kiai Wahid, MIAI melakukan tuntutan kepada pemerintah Kolonial
Belanda untuk mencabut status Guru Ordonantie tahun 1925 yang sangat membatasi
aktivitas guru-guru agama. Bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia) dan
PVPN (Asosiasi Pegawai Pemerintah), MIAI juga membentuk Kongres Rakyat
Indonesia sebagai komite Nsional yang menuntut Indonesia berparlemen.
Menjelang
pecahnya Perang Dunia ke-II, pemerintah Belanda mewajibkan donor darah serta
berencana membentuk milisi sipil Indonesia sebagai persiapan menghadapi Perang
Dunia. Sebagai ketua MIAI, Wahid Hasyim menolak keputusan itu.
Ketika
pemerintah Jepang membentuk Chuuo Sangi In, semacam DPR ala Jepang, Kiai Wahid
dipercaya menjadi anggotanya bersama tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya,
seperti Ir. Soekarno, Dr. Mohammad Hatta, Mr. Sartono, M. Yamin, Ki Hajat
Dewantara, Iskandar Dinata, Dr. Soepomo, dan lain-lain. Melalui jabatan ini,
Kiai Wahid berhasil meyakinkan Jepang untuk membentuk sebuah Badan Jawatan
Agama guna menghimpun para ulama.
Pada tahun
1942, Pemerintah Jepang menangkap Hadratusy Sayeikh Kiai Hasyim Asy’ari dan
menahannya di Surabaya. Wahid Hasyim berupaya membebaskannya dengan melakukan
lobi-lobi politik. Hasilnya, pada bulan Agustus 1944, Kiai Hasyim Asy’ari
dibebaskan. Sebagai kompensasinya, Pemerintah Jepang menawarinya menjadi ketua
Shumubucho, Kepala Jawatan Agama Pusat. Kiai Hasyim menerima tawaran itu,
tetapi karena alasan usia dan tidak ingin meninggalkan Tebuireng, maka tugasnya
dilimpahkan kepada Kiai Wahid.
Bersama para
pemimpin pergerakan nasional (seperti Soekarno dan Hatta), Wahid Hasyim
memanfaatkan jabatannya untuk persiapan kemerdekaan RI. Dia membentuk
Kementerian Agama, lalu membujuk Jepang untuk memberikan latihan militer khusus
kepada para santri, serta mendirikan barisan pertahanan rakyat secara mandiri.
Inilah cikal-bakal terbentuknya laskar Hizbullah dan Sabilillah yang, bersama
PETA, menjadi embrio lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada tanggal
29 April 1945, pemerintah Jepang membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyooisakai atau
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan Wahid
Hasyim menjadi salah satu anggotanya. Dia merupakan tokoh termuda dari sembilan
tokoh nasional yang menandatangani Piagam Jakarta, sebuah piagam yang
melahirkan proklamasi dan konstitusi negara. Dia berhasil menjembatani
perdebatan sengit antara kubu nasionalis yang menginginkan bentuk Negara
Kesatuan, dan kubu Islam yang menginginkan bentuk negara berdasarkan syariat
Islam. Saat itu ia juga menjadi penasihat Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Di dalam
kabinet pertama yang dibentuk Presiden Sukarno (September 1945), Kiai Wahid
ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam Kabinet Sjahrir tahun
1946. Ketika KNIP dibentuk, Wahid Hasyim menjadi salah seorang anggotanya
mewakili Masyumi dan meningkat menjadi anggota BPKNIP tahun 1946.
Setelah
terjadi penyerahan kedaulatan RI dan berdirinya RIS, dalam Kabinet Hatta tahun
1950 dia diangkat menjadi Menteri Agama. Jabatan Menteri Agama terus
dipercayakan kepadanya selama tiga kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Natsir,
dan Kabinet Sukiman.
Selama menjabat sebagai Menteri Agama RI, Kiai Wahid mengeluarkan tiga
keputusan yang sangat mepengaruhi sistem pendidikan Indonesia di masa kini,
yaitu :
1. Mengeluarkan Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang
mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum, baik
negeri maupun swasta.
2. Mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama di Malang, Banda-Aceh, Bandung,
Bukittinggi, dan Yogyakarta.
3. Mendirikan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Tanjungpinang, Banda-Aceh,
Padang, Jakarta, Banjarmasin, Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan, dan Salatiga.
Jasa lainnya ialah pendirian Sekolah Tinggi Islam di Jakarta (tahun 1944), yang
pengasuhannya ditangani oleh KH. Kahar Muzakkir. Lalu pada tahun 1950
memutuskan pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini
menjadi IAIN/UIN/STAIN, serta mendirikan wadah Panitia Haji Indonesia (PHI).
Kiai Wahid juga memberikan ide kepada Presiden Soekarno untuk mendirikan masjid
Istiqlal sebagai masjid negara.
Pada tahun
1950, Kiai Wahid diangkat menjadi Menteri Agama dan pindah ke Jakarta. Keluarga
Kiai Wahid tinggal di Jl. Jawa (kini Jl. HOS Cokroaminoto) No. 112, dan
selanjutnya pada tahun 1952 pindah ke Taman Matraman Barat no. 8, di dekat
Masjid Jami’ Matraman.
Musibah di Cimindi
Hari itu, Sabtu 18 April 1953, Kiai Wahid bermaksud pergi ke Sumedang untuk
menghadiri rapat NU. Kiai Wahid ditemani tiga orang, yakni sopirnya dari harian
Pemandangan, rekannya Argo Sutjipto, dan putera sulungnya Abdurrahman Ad-Dakhil
(Gus Dur). Kiai Wahid duduk di jok belakang bersama Argo Sutjipto. Daerah di
sekitar Cimahi waktu itu diguyur hujan lebat sehingga jalan menjadi licin. Lalu
lintas cukup ramai.
Sekitar
pukul 13.00, ketika memasuki Cimindi, sebuah daerah antara Cimahi-Bandung,
mobil yang ditumpangi Kiai Wahid selip dan sopirnya tidak bisa menguasai
kendaraan. Di belakangnya banyak iringan-iringan mobil. Sedangkan dari arah
depan, sebuah truk yang melaju kencang terpaksa berhenti begitu melihat ada
mobil zig-zag. Karena mobil Chevrolet itu melaju cukup kencang, bagian
belakangnya membentur badan truk dengan kerasnya. Ketika terjadi benturan, Kiai
Wahid dan Argo Sutjipto terlempar ke bawah truk yang sudah berhenti itu.
Keduanya luka parah. Kiai Wahid terluka bagian kening, mata, pipi, dan bagian
lehernya. Sedangkan sang sopir dan Gus Dur tidak cedera sedikit pun. Mobilnya
hanya rusak bagian belakang dan masih bisa berjalan seperti semula.
Kiai Hasyim
dan Argo Sutjipto kemudian dibawa ke Rumah Sakit Boromeus Bandung. Sejak
mengalami kecelakaan, keduanya tidak sadarkan diri. Keesokan harinya, Ahad, 19
April 1953 pukul 10.30, KH. Abdul Wahid Hasyim dipanggil ke hadirat Allah Swt.
dalam usia 39 tahun. Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 18.00 Argo Sutjipto
menyusul menghadap Sang Khalik. Inna liLlahi wa Inna ilayhi Raji’un.
Jenazah Kiai
Wahid kemudian dibawa ke Jakarta, lalu diterbangkan ke Surabaya, dan
selanjutnya dibawa ke Jombang untuk disemayamkan di pemakaman keluarga
Pesantren Tebuireng. Atas jasa-jasanya beliau juga dianugerahi gelar Pahlawan
Nasional oleh pemerintah.
Kiai Wahid
Hasyim adalah putra dari Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, salah satu pendiri
Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) dan ayah dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Wahid Hasyim adalah salah seorang dari sepuluh keturunan langsung KH Hasyim
Asy’ari. Silsilahnya dari jalur ayah bersambung hingga Joko Tingkir, tokoh yang
dikenal dengan Sultan Sutawijaya yang berasal dari kerajaan Islam Demak.
Sedangkan dari jalur ibunya, bersambung hingga Ki Ageng Tarub. Dan bila dirunut
lebih jauh, kedua silsilah itu bertemu pada satu titik, yaitu Sultan Brawijaya
V, yang menjadi salah satu raja kerajaan Mataram. Maka tidak heran jika pada
akhirnya Wahid Hasyim menjadi seorang figur, panutan masyarakat, bahkan gelar
pahlawan nasionalpun ia raih. Karena Wahid Hasyim dikenal sebagai sosok yang
mempunyai banyak sumbangsih terhadap negara Indonesia, khususnya dalam
memperjuangkan kemerdekaan.
Selain
dikenal sebagai pejuang kemerdekaan, Wahid Hasyim aktif dibeberapa organisasi
kemasyarakatan seperti MIAI, Masyumi, Liga Muslimin Indonesia, hingga di
organisasi terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU). Di beberapa
organisasi tersebut ia selalu dipercaya untuk menjadi Rais Akbarnya. Namun yang
paling banyak memberikan sumbangsih dan mengabdi terhadap organisasi yaitu di
jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi yang didirikan oleh
ayahnya, Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari.
Karirnya di
NU dimulai dari pengurus ranting NU Cukir Jombang, ketua NU Cabang Jombang,
hingga kemudian pada tahun 1940 dipilih menjadi anggota PBNU bagian Ma’arif
(pendidikan). Dari sinilah, perjuangan di NU mulai banyak peningkatan sampai
akhirnya pada tahun 1946 Wahid Hasyim diberikan amanah sebagai Ketua
Tanfidziyah PBNU menggantikan Kiai Ahmad Shiddiq.
Pada masa
kepemimpinannya di NU, Wahid Hasyim tidak hanya berkiprah memajukan serta
meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan. Beliau juga mampu
berkiprah dalam perjuangan politik. Namun perjuangan politiknya bukan
perjuangan politik pragmatis untuk memperoleh sebuah kekuasan dan kepentingan
pribadi, melainkan ia mampu berkiprah memperjuangkan politik kebangsaan dan
kerakyatan. Kiprah Wahid Hasyim di NU benar-benar mengabdi untuk NU, sehingga
pada tahun 1939 atas nama wakil NU, ia mampu membawa NU masuk bergabung dalam
MIAI sebuah perkumpulan dari berbagai organisasi Islam dalam satu wadah. Jadi,
pada usia 25-26 tahun Wahid Hasyim sudah menjadi ketua pergerakan dengan skala
nasional dalam dua organisasi.
Selain itu,
Wahid Hasyim pernah mendirikan organisasi kepemudaan Islam. Dengan mengajak M
Natsir dan Anwar Cokrominoto, mereka menggerakkan pemuda Islam yang militan,
berani berjihad untuk agama, bangsa, dan tanah airnya. Gerakan ini ini diberi
nama GPPI (Gerakan Pemuda Islam Indonesia), yang lahir pada tanggal 2
Oktober 1945. GPPP ini lahir, sebagai organisasi gerakan kepemudaan Islam yang
bergerak dalam lapangan politik dan memiliki kecenderungan radikal (hal. 37).
Sejak
itulah, kita mengetahuai bahwasanya Wahid Hasyim adalah tokoh pergerakan yang
mampu membangkitkan NU di pentas nasional. Ia juga mampu meningkatkan bidang
pendidikan dan sosial-politik NU. Dengan semua ini, Wahid Hasyim bisa
menunjukkan bahwa NU mempunyai kualitas dan bisa berkiprah walaupun warganya
mayoritas berlatar belakang kalangan tradisionalis (pesantren).
Meskipun
berlatar belakang dari kalangan tradisionalis, ia tetap konsisten, ikhlas, dan
sabar dalam mengabdi pada NU. Dengan kekonsistenan, keikhlasan, dan kesabaran
dalam mengabdi di NU, akhirnya NU memberikan sebuah “barokah” (nilai tambah),
pada tahun 1949-1952 Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama. Dengan
bermodal perjuangan dan mengabdi pada bangsa Indonesia khususnya NU, akhirnya Wahid
Hasyim mampu menjadi seorang yang sukses, diterima oleh banyak kalangan,
memimpin organisasi terbesar di Indonesia seperti, jam’iyah Nadlatul Ulama (NU)
dan organisasi terbesar lainnya yang berskala nasional hingga dipercaya menjadi
Menteri Agama.
Buku
“Biografi Singkat Kiai Wahid Hasyim” ini, menceritakan sejak ia lahir,
pendidikan, kaya-karyanya, perjuangannya di Pesantren Tebuireng Jombang hingga
pada saat aktif diberbagai organisasi keagamaan kemasyarakatan yang berskala
nasional khususnya di jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Juga beberapa pemikirannya
tercantum dalam buku ini, mulai tentang agama dan negara, politik, pergerakan,
perjuangan umat Islam, pendidikan dan pengajaran, hingga tentang pemikiran
Kementerian Agama.
Salah satu
pemikiran Wahid Hasyim yang menarik dalam buku ini, adalah tentang pemikiran
politiknya. Pemikiran dan gerakan politik Wahid Hasyim adalah kebangsaan,
kerakyatan, membela negara mengayomi masyarakat. Politik bagi Wahid Hasyim
bukanlah sebagai kendaraan untuk meraih sebuah kekuasaan dan jabatan, melainkan
ia untuk mengabdi untuk negara, mengayomi masyarakat dari semua golongan. Namun
kenyataannya sampai sekarang justru politik dianggap sebagai kendaraan untuk
meraih kekuasaan, jabatan, demi kepentingannya sendiri.
Dari buku
ini, setidaknya dapat menjadi langkah awal sejauh mana kita mengenal sosok dan
latar belakang Wahid Hasyim. Agar supaya muncul penulis dan peneliti yang mampu
menulis biografi para tokoh, Kiai, yang mempunyai banyak sejarah dan sumbangsih
terhadap negara. Dengan harapan bisa diteladani oleh masyarakat khususnya para
santri pondok pesantren. Semoga pejuangan yang dilakukan oleh Wahid Hasyim
untuk Negara, masyarakat, khususnya warga nahdliyin bermamfaat dan barokah.
Aamiin